Contoh Gabungan Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif   Leave a comment

Judul: Interpersonal Difficulties Among Chinese‑Canadian Students

Contoh ini menunjukkan diperolehnya keuntungan apabila penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif sekaligus dalam satu penelitian. Fase penelitiannya adalah: fase pertama penelitian kuantitatif, kedua kualitatif, dan ketiga kuantitatif lagi. Catat bahwa, berlawanan dengan gambaran umum tentang bagaimana kedua pendekatan berkaitan, penemuan‑penelitian kualitatif memberi sumbangan terhadap validasi penelitian kuantitatif, sedangkan hasil final penelitian kuantitatif memberikan perkembangan hipotesis bagi penelitian kualitatif lebih lanjut.

Para peneliti yang meneliti tentang transisi budaya umumnya tertarik untuk mengetahui bagaimana hubungannya dengan penyesuaian diri. Berry mengenalkan istilah acculturative stress untuk menunjukkan dampak negatif akibat terjadinya perubahan budaya, dan hal ini memotivasi banyak peneliti untuk meneliti masalah‑masalah yang berkaitan dengan penyesuaian. Model‑model akulturasi kontemporer, terutama yang mengambil pendekatan dua dimensi, menekankan bahwa individu juga mengalami akulturasi dalam konteks yang melibatkan orang lain, dari budaya lama dan dari budaya baru.

Memberi fokus sosial terhadap teori akulturasi dan adanya perkembangan literatur mengenai penyesuaian psikososial secara cepat, memungkinkan akan mengurangi kesulitan fungsi interpersonal yang disebabkan oleh acculturative stress. Proses akulturasi yang terjadi pada seseorang selalu membawa kesukaran dalam arena interpersonal mereka mungkin dituntut belajar bahasa baru dan sistem norma sosial baru, atau mungkin mereka secara kontinyu dipaksa untuk bernegosiasi antara dua perangkat budaya berbeda yang kedua duanya telah mapan. Tantangan tantangan seperti ini mungkin merepresentasikan porsi substansial dari tingkat acculturative stress secara keseluruhan.

Metode dan Hasil Penelitian

Fase Kuantitatif Pertama. Fase pertama meneliti hubungan antara akulturasi dan penyesuaian interpersonal, dengan menggunakan kerangka kerja yang disiapkan melalui teori interpersonal tradisional the interpersonal circumplex (Leary; Keisler; Wiggins & Trobst). Model ini meliputi delapan problem (kesukaran) interpersonal yang dapat dikelompokkan menjadi dua dimensi love dan dominance.

Sampel terdiri dari 130 mahasiswa perempuan dan 54 mahasiswa laki laki berusia antara 18 sampai dengan 25 tahun, semuanya mahasiswa Kanada keturunan Cina. Alat ukur yang digunakan adalah Inventory of Interpersonal Problems (IIP; Horowitz, Alden, Wiggins & Pincus) untuk mengukur problem interpersonal, dan the Vancouver Index of Acculturation (VIA; Ryder, et al.) untuk mengukur akulturasi secara dimensional, dengan subskala independen untuk Heritage dan Mainstream Cultural Self identities (dalam hal ini China dan Kanada). Hanya subskala Mainstream dari VIA yang memiliki korelasi signifikan dengan penyesuaian, memprediksi lebih sedikit terhadap problem keinginan balas dendam/selfcentered, dingin/tidak ramah, pemalu, tidak asertif, dan sangat akomodatif.

Fase Kualitatif. Tujuan dari penelitian tahaf kedua ini adalah untuk memperkaya model pengujian secara kualitatif untuk menguatkan fase pertama dari data kuantitatif, dengan potensi untuk menambahkan unsur unsur penting yang tak terduga bagi model tersebut. Di sini penelitian dilakukan dengan diskusi kelompok terarah (focus group discussion) untuk mengeksplor konteks problem problem interpersonal mana yang dialami subyek.

Subyek penelitiannya adalah mahasiswa etnis Cina yang lahir di Hongkong, Taiwan, atau orang orang RRC, yang dibagi menjad i empat focus goups; dan 20 mahasiswa keturunan Cina yang lahir di Kanada yang juga terbagi menjadi empat focus groups. Setelah semua subyek menjawab serangkaian pertanyaan pendek yang sifatnya open ended mengenai pengalaman akulturasi mereka, kemudian anggota anggota kelompok mendiskusikan jawaban mereka.

Umumnya, sebagian besar subyek menyebutkan berbagai kesulitan interpersonal yang menjadi hambatan utama, yang mereka hadapi dalam berakulturasi, dan mereka sependapat bahwa mengembangkan atau mempertahankan identitas Kanada umumnya telah membantu untuk mengurangi problem-problem tersebut. Secara khusus, banyak subyek kelahiran Kanada mengatakan bahwa mereka sering mempunyai lebih banyak problem berhubungan dengan individu individu kelahiran Cina, termasuk dengan kedua orangtua mereka sendiri dan anggota keluarga mereka yang lain. Variabel kontekstual yang paling banyak ditemukan, yang terdapat dalam masing masing focus groups, adalah latar belakang budaya subyek lain dalam interaksi. Secara singkat, hasil penelitian kualitatif sejalan dengan hasil penelitian kuantitatif fase pertama, bahwa pada tingkat akulturasi mainstream yang lebih tinggi memiliki hubungan dengan problem problem personal yang lebih sedikit untuk berbagai tipe problem. Akan tetapi, sampai sejauh mana faktor faktor konteks budaya yang dilukiskan oleh focus groups merupakan tambahan keterangan yang dibutuhkan bagi model interpretasi belum jelas. Oleh karena itu faktor faktor tersebut digabungkan ke dalam model dan diuji dalam penelitian kuantitatif fase kedua.

Fase Kuantitatif Kedua. Tujuan dari fase ini adalah untuk meneliti model yang sudah terelaborasi, yang menerangkan bahwa konteks budaya di mana berbagai problem interpersonal terjadi. Subyek penelitiannya adalah 85 mahasiswa perempuan dan 51 mahasiswa laki laki yang rentang usianya antara 18 sampai dengan 26 tahun, dan semuanya adalah mahasiswa keturunan Cina. Alat ukur yang digunakan sama dengan yang digunakan pada penelitian kuantitatif tahap pertama, yaitu IIP dan VIA; akan tetapi kali ini IIP diberikan dua kali, yang satu mengkhususkan pada problem problem mahasiswa dengan budaya Kanada dan yang satu mengkhususkan pada problem problem mahasiswa dengan budaya Cina.

Pertama melihat problem yang dihadapi mahasiswa dengan budaya Cina; dan temyata baik untuk subskala Haritage maupun subskala Mainstream mempunyai hubungan yang signifikan dengan penyesuaian. Skor yang tinggi pada subskala Haritage secara signifikan memprediksi lebih banyak problem: sangat bersifat menguasai atau mengendalikan, tidak suka mencampuri, berkorban diri, dan lebih sedikit dengan problem dingin/tidak ramah dan pemalu; sedangkan skor tinggi pada subskala Mainstream secara signifikan memprediksi lebih sedikit dengan problem: menguasai atau mengendalikan, ingin membalas dendam/ self centered, dingin/tidak ramah, tidak asertif, terlalu akomodatif, dan tidak suka mencampuri. Hasil di atas berbeda dengan problem yang dihadapi mahasiswa dengan budaya Kanada; yang hanya pada subskala Mainstream saja yang mempunyai hubungan signifikan dengan penyesuaian, dan polanya sama dengan penemuan yang didapat dalam fase pertama penelitian kuantitatif.

Posted 25 Juni 2010 by Yayan Z. in Ilmu Penelitian

Tinggalkan komentar