Islam dan Pembentukan Hukum (bag.1)   Leave a comment

Memetakan Filsafat dan Islam

Berbicara tentang definisi filsafat, maka kita akan dihadapkan pada kesulitan-kesulitan klasik yang hingga hari ini pintu jalan pemecahannya belum ditemukan, yaitu belum dihasilkannya kesatuan pendapat antara para ahli tentang definisi filsafat itu sendiri. Setiadaknya inilah yang dikemukakan oleh Moh. Hatta, “Apa sebenarnya yang disebut filosofi lebih baik jangan dipersoalkan pada permulaan menempuhnya. Akan hilang jalan nanti karena banyak ragam dan paham. Tiap-tiap ahli berlainan pendapatnya tentang apa yang dikatakan filosofi. Tiap-tiap pilosof pun lain-lain pula temuannya”.

Akan tetapi, bagaimanapun juga, ketika hendak membicarakan filsafat harus ada yang dipahamainya terlebih dahulu, apalagi dengan adanya keinginan untuk memetakan kedudukannya dengan Islam.

Selintas untuk memahami filsafat, maka jalan yang dapat dipakai adalah dengan melihatnya dari sisi etimologi. Kata filsafat berasal dari kata Yunani yaitu filosofein yang kemudian diturunkan menjadi filosofia. Filosofia itu sendiri berasal dari kata philos atau philia yang berarti cinta dan logos yang berarti kearifan atau kebijaksanaan. Jadi philosofia berarti cinta akan kebijaksanaan (love of wisdom).

Berangkat dari sana, beberapa tokoh telah mencoba memberikan definisinya, diantaranya:

Plato (427-347 SM) menyatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada. Sedangkan muridnya, Aristoteles (384-322 SM), menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu tentang asas-asas pertama, atau ilmu yang menyelidiki peradaan dan cirri-ciri yang tergolong pada objek itu berdasarkan sifat alamnya sendiri.

Adapun Sidi Gazalba memberikan definisinya, bahwa filsafat adalah sistem kebenaran tentang segala sesuatu yang dipersoalkan sebagai hasil berfikir yang radikal, sistematika dan universal.[1]

Dari definisi-definisi diatas kiranya sudah cukup memberikan gambaran tentang filsafat yaitu proses berfikir secara mendalam.

Adapun ketika kita berbicara tentang Islam, atau agama Islam, maka yang perlu dilakukan adalah mengembalikan Islam pada konsep aslinya. Islam pada era sekarang sering disandingkan dengan kata agama, sehingga menjadi agama Islam. Istilah ini tidak dikenal dalam peradaban Islam, yang ada adalah istilah dienul Islam. Penegasan istilah ini menjadi urgen mengingat adanya perbedaan yang sangat fundamental antara dua istilah ini (agama dan dien).

Agama, sebagaimana dikemukakan oleh Eggi Sudjana dan Achyar Eldine, adalah sekumpulan ritual yang dilakukan oleh penganutnya.[2] Atas definisi itu, Abu Bakar Ba’asyir memberikan koreksi terhadap orang-orang yang menyebut Islam sebagai agama. Menurut Abu Bakar Ba’asyir, Islam disebut dien, dien bila diterjemahkan sebagai agama maka terjemahan itu mengandung kesalahan. Karena agama sering diasosiasikan  ritual, penyembahan, sholat, puasa, zikir, dan lain sebagainya. Tapi jika dikembalikan kepada bahasa Arab (karena dien berasal dari bahasa Arab), maka akan ditemukan bahwa dien seperti yang terdapat dalam kamus-kamus bahasa Arab dan menurut para ulama, berarti nizaamul hayat yaitu tatanan hidup, peraturan untuk mengatur hidup baik yang hak maupun yang bathil. Kalau ada satu ajaran yang mengatur cara hidup, perundang-undangan yang mengatur cara hidup maka itulah yang disebut dien.[3]

Karena dunia hanya di huni oleh dua nilai, nilai hak dan bathil, maka dien pun di bagi menjadi dua, yaitu dienul hak dan dienul bathil. Dienul hak yakni yang turun dari Allah yaitu Islam, hal itu ditegaskan sendiri oleh Allah dalam firman-Nya, waaroditu lakumul islaamidiina, Aku ridho Islam menjadi tatanan hidup, bukan agama. Jadi, yang diridhoi oleh Allah untuk menjadi tatanan hidup hanyalah Islam yaitu Qur’an dan Sunnah. Sedangkan, dienul bathil yaitu semua dien yang dibuat oleh manusia. Tidak ada manusia yang dapat membuat diinul hak, semua karya manusia yang menyangkut persoalan dien pasti bathil, oleh karenanya hal tersebut hak monopoli Allah.[4]

Pada dasarnya dalam idiologi atau yang biasa disebut ajaran, dimungkinkan adanya kebenaran, tetapi kebenaran yang telah bercampur dengan kebathilan akan melahirkan kebathilan. Karena logikanya, apabila air bersih dicampur dengan air kotor maka akan menghasilkan air kotor. Sehingga semua dien buatan manusia seperti Komunis, Sosialis, Demokrasi, Nasionalis atau ajaran Soekarno adalah bathil.[5]

Selanjutnya, disamping Allah menetapkan untuk hidup dengan Islam, Allah juga menetapkan dalam ayat lain, wa annaha bisirootil mustakim (inilah jalanku yang lurus), ketika Allah menyebut jalan-Nya, Ia menggunakan mufrad (menggunakan kalimat satu) karena memang jalan Allah hanya satu, yakni Islam. Walaa tattabi u subula, jangan kamu mengikuti jalan-jalan yang lain yaitu dien yang diciptakan oleh manusia, karena dien manusia bersumber dari pendapat masing-masing yang mengandung banyak perbedaan sehingga dapat mengakibatkan perpecahan.

Pembuatan Hukum dan Ijtihad dalam Pandangan Islam

Penulis akan mengkaji makna pembuatan hukum dan pensyari’atan ijtihad dalam Islam dari sudut pandang siyasah syar’iyah, sebagai pondasi untuk menganalisis fiqh (hukum) negara dalam Islam. Bab ini juga akan membahas bagaimana cara pembuatan hukum Islam untuk memberikan solusi masalah politik di tengah kehidupan umat dan negara.

Pembuatan hukum (tasyri’) memiliki dua makna.  Yang pertama berarti membuat hukum untuk pertama kalinya (insya’u syar’in mubtadi`an), sedang arti kedua adalah mengadopsi dan menampakkan/menggali hukum dari syari’at (sistem hukum) yang berlaku (tabanni wa izh-haru hukmin mustamadin  min syariah qa`imah).[6] Jadi Islam menetapkan bahwa kewenangan membuat hukum untuk pertama kalinya adalah khusus hak Allah semata. Kepada Allah-lah kembali semua urusan dan hukum serta tidak satu makhluk pun berhak membuat hukum dengan menghalalkan atau mengharamkan sesuatu menurut dirinya sendiri.[7] Allah mengecam dengan amat keras orang yang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu menurut dirinya sendiri. Allah juga memerintahkan untuk memerangi orang tersebut dan menyampaikan ancaman bahwa orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut berarti termasuk ke dalam golongan orang-orang musyrik yang merugi dan suka berbuat dusta. Firman-Nya:

قُلْ أَرَءَيْتُمْ مآ أَنْزَلَ اللهُ لَكُمْ مِّن رِّزْقٍ فجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَراَماً وَحَلاَلاً قُلْ ءآللهُ أَذِنَ لَكُمْ ، أَمْ عَلَى اللهِ تَفْتَرُونَ

“Katakanlah: ‘Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan sebagiannya halal.’ Katakanlah: ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu berbuat dusta atas nama Allah.” (QS. Yunus [10]: 59)

قَدْ خَسِرَ الَّذِيْنَ قَتَلُواْ أَوْلاَدَهُمْ سَفَهًا بِغَيْرِ عِلْمٍ وَحَرَّمُواْ ماَ رَزَقَهُمُ اللهُ افْتِرَآءً عَلَى اللهِ ، قَدْ ضَلُّواْ وَماَ كاَنُواْ مُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya rugilah orang-orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan, lagi tidak mengetahui. Dan mereka mengharamkan rizki yang telah diberikan Allah kepada mereka semata-mata berdusta terhadap Allah. Mereka sungguh telah sesat dan tidaklah mereka mendapat hidayah (petunjuk).” (QS. Al An’am [6]: 140)

قَاتِلُواْ الَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَلاَ بِاْليَوْمِ اْلأَخِرِ وَلاَ يُحَرِّمُوْنَ ماَ حَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari akhir dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya.” (QS. At Taubah [9]: 29)

أَفَغَيْرَ اللهِ أَبْتَغِى حَكَماً وَهُوَ الَّذِى أَنزَلَ إِلَيْكُمُ اْلكِتاَبَ مُفَصَّلاً

“Maka layakkah aku mencari hakim selain Allah, padahal Dia lah yang telah menurunkan al Kitab (Al Qur’an) kepadamu dengan terperinci.” (QS. Al An’am [6]: 114)

أَلاَ لَهُ اْلخَلْقُ وَاْلأَمْرُ

“Ingatlah, mencipta dan memerintah hanyalah hak Allah.” (QS. Al A’raf [7]: 54)

سَيَقُولُ الَّذِيْنَ أَشْرَكُواْ لَوْ شآءَ اللهُ مآ أَشْرَكْناَ وَلآ ءَابآؤُناَ وَلاَ حَرَّمْناَ مِنْ شَىْءٍ

“Orang-orang musyrik (yang menyekutukan Allah) akan berkata: ‘Jika Allah berkehendak, tentu kami dan nenek moyang kami tidak akan mempersekutukan-Nya dan tidak akan mengharamkan sesuatu apa pun.” (QS. Al An’am [6]: 148)

Masih banyak ayat-ayat lain yang menyinggung hak uluhiyah Allah dan kewenangan mutlak membuat hukum untuk pertama kalinya yang dimiliki Allah semata. Pihak yang mencoba merebutnya berarti syirik, menandingi Allah SWT.

Adapun pembuatan hukum (tasyri’) dalam makna kedua –yaitu mengadopsi dan menggali hukum dari syariat (sistem hukum) yang berlaku– sesungguhnya Allah sebagai Musyarri’ (pembuat hukum/legal maker) untuk pertama kalinya, telah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman agar kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya untuk menggali dan menyingkapkan hukum Allah SWT. Allah SWT berfirman:

وَإِذَا جآءَهُمْ أَمْرٌ مِّنَ اْلأَمْنِ أَوِ اْلخَوْفِ أَذَاعُواْ بِهِ ، وَلَوْ رَدُّوهُ إِلىَ الرَّسُولِ وَإِلىَ أُوْلىِ اْلأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ

“Dan apabila suatu berita tentang keamanan atau ketakutan datang kepada mereka, mereka lalu menyiarkannya. Dan apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan orang-orang yang berwenang (Ulil Amri) di antara  mereka, niscaya orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).” (QS. An Nisa [4]: 83)

فَلَوْلاَ نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فىِ الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُواْ قَوْمُهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ

“Mengapa tidak pergi dari setiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya jika mereka telah kembali.” (QS. At Tawbah [9]: 122)

فَإِن تَناَزَعْتُمْ فىِ شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلىَ اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ، ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

“Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah hal itu kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (As Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bagus akibatnya.” (QS. An Nisaa` [4]: 59)

Ayat-ayat di atas mewajibkan setiap muslim mengetahui hukum-hukum Allah yang berkaitan erat dengan kewajiban dan tugas yang dilaksanakannya, sebagaimana wajib pula atas umat mewujudkan sekelompok orang yang melakukan pendalaman ilmu agama dan menggali hukum-hukum Allah dari sumber-sumber hukum syara’. Sekelompok orang yang membuat hukum dalam makna kedua ini –yakni menggali hukum dan menyingkapkannya dari sumber-sumber hukum syara’– adalah para mujtahid dan ulama ahli fatwa dari kalangan umat Islam yang telah diwajibkan Allah untuk memahami nash-nash, menjelaskan hukum-hukumnya, dan menggali hukum-hukum ini melalui mekanisme ijtihad. Ijtihad dalam istilah ulama ushul fiqih didefinisikan sebagai;

mengerahkan segala kesanggupan dalam menggali hukum syara’ yang tidak mempunyai dalil yang bersifat pasti (qath’i).” [8]

Rasul SAW telah mensyari’atkan ijtihad dalam makna ini kepada para hakim dan wali (gubernur). Beliau SAW bersabda :

إِذَا حَكَمَ اْلحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

“Bila seorang hakim berijtihad, lalu hasil ijtihadnya benar, maka ia berhak memperoleh dua pahala, dan bila ia berijtihad lalu salah, ia masih berhak memperoleh satu pahala” [9]

Begitu pula ada riwayat yang menuturkan bahwa Rasul SAW mengutus Muadz bin Jabal RA ke Yaman sebagai qadhi (hakim) yang didahului dialog antara keduanya. Rasul SAW bersabda, “Bagaimana engkau memutuskan jika ada perkara dihadapkan kepadamu?” Muadz menjawab, “Aku akan memutuskan berdasarkan Kitab Allah (Al Qur`an).” Nabi SAW bertanya, “Bagaimana jika tidak engkau temui dalam Kitab Allah?” Muadz menjawab, “(Akan kuputuskan berdasarkan) Sunnah Rasulullah.” Nabi SAW kembali bertanya, “Bagaimana jika tidak engkau temui dalam Sunnah Rasulullah, maupun dalam Kitab Allah?” Muadz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan pendapatku dan aku tidak akan gegabah.” Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah sesuai dengan yang diridhai Rasul-Nya.”[10] Hadits ini menunjukkan adanya iqrar (pengakuan) Nabi SAW atas disyari’atkannya ijtihad untuk menggali hukum.

Berdasarkan dalil-dalil di atas baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah, ijtihad hukumnya fardhu kifayah atas umat Islam. Ijtihad merupakan hak seorang muslim yang mampu melakukan ijtihad. Ijtihad merupakan suatu keharusan untuk mendapatkan hukum Allah dalam berbagai peristiwa dan kasus yang terjadi. Dr. Badran Abul Ainayni Badran berkata:

“Dalil-dalil syar’i terkadang dalalahnya (maknanya) bersifat zhanni (dugaan, ada lebih dari satu makna). Maka dalil jenis ini masuk dalam ruang lingkup ijtihad. Ijtihad dilakukan untuk memperoleh makna yang dikandung oleh nash. Dalil dari Al Qur’an ataupun As Sunah kadang-kadang bersifat ‘am (umum), muthlaq (mutlak, tanpa syarat), amr (perintah) ataupun nahi (larangan). Begitu pula dalil tersebut kadang-kadang menunjukkan hukum dengan ibarah (ungkapan literal, harfiyah), isyarah (isyarat), ataupun iqtidha’ (tuntutan, konsekuensi ungkapan literal). Untuk memperoleh pemahaman hukum dari keadaan nash-nash yang semacam ini, seorang mujtahid harus melakukan kajian dan pendalaman. Artinya, apakah lafazh ‘am itu tetap dalam keumumannya ataukah ada takhsis (pengecualian, pengkhususan), apakah amr dalam ayat tertentu berarti wajib atau ada qarinah (indikasi, petunjuk) yang mengalihkan amr dari hukum wajib, apakah nahi langsung diartikan haram ataukah ada qarinah yang mengalihkan nahi itu dari hukum haram. Ijtihad juga suatu keharusan untuk mengetahui sampainya suatu dalil (hadits) kepada kita, derajat sanadnya, serta apakah para perawinya memiliki sifat adil (taqwa, tidak fasik), kuat ingatannya (dhabith), terpercaya (tsiqah) dan jujur.”[11]

Ijtihad wajib dilaksanakan karena lewat mekanisme ijtihadlah berbagai kejadian dan peristiwa yang terjadi silih berganti sepanjang masa dalam ruang dan waktu yang berbeda dapat diketahui hukumnya. Tanpa ijtihad, proses pembuatan hukum Islam akan berhenti. Akibatnya umat tidak dapat merespons perkembangan perikehidupan sosio-politik sehingga kemaslahatan umat akan terbengkalai. Jelas ini akan menimbulkan bahaya yang besar dan kerusakan yang parah.

Kewajiban ijtihad semakin kukuh mengingat kesempurnaan dan keabadian syariah itu sendiri. Muhammad Al Khidir Husain berkata :

“Syariah Islam bersifat universal, tidak khusus diperuntukkan bagi kelompok manusia dengan meninggalkan kelompok lain, atau satu generasi tanpa mempedulikan generasi setelahnya. [Urgensi ijtihad tampak jelas mengingat] perbuatan-perbuatan manusia –yang beragam kebangsaan dan hidup di berbagai masa itu–  memang tak terhitung jumlahnya.”[12]

Karena begitu penting dan luhurnya ijtihad ini dalam kehidupan umat dan bernegara, negara Islam (Khilafah) berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana untuk memudahkan ijtihad dengan jalan menyebarluaskan ilmu-ilmu syariah, membuka pusat-pusat kajian ilmiah, mendistribusikan berbagai buku dan membuka peluang bagi kalangan cendekiawan dan kaum jenius untuk mengasah bakat mereka. Negara Islam, sebagaimana diungkapkan Abdul Wahhab Khallaf  :

“Senantiasa membutuhkan adanya kalangan ahli ijtihad yang memenuhi persyaratan dan memiliki kemampuan yang sempurna. Pemahaman nash-nash undang-undang syar’i diserahkan kepada mereka, begitu pula pembuatan hukum untuk berbagai peristiwa yang terjadi dan penetapan berbagai kepentingan serta kebutuhan yang dihadapi umat.”[13]

Karena itu, tak diragukan lagi, penutupan pintu ijtihad¨ pada abad IV H telah menyebabkan lemah dan lumpuhnya negara Islam dalam menghadapi kemajuan zaman. Hal ini pada gilirannya telah memudahkan kaum imperialis Barat untuk menghancurkan institusi negara Islam dengan jalan memisahkan Islam dari realitas kehidupan.

Namun para fuqaha menyatakan, meskipun ijtihad amat penting, tetapi ijtihad tidak boleh dilakukan bila ada nash syar’i yang sudah pasti sumbernya/penetapannya dan pasti maknanya (qath’i ats tsubut wa qath’i ad dalalah). Jika terdapat nash semacam ini, maka yang menjadi kewajiban adalah melaksanakan kandungan nash apa adanya. Oleh karena itu, ijtihad tidak diperkenankan dalam masalah-masalah agama yang telah diketahui secara pasti keabsahannya (ma’lumun min ad din bi adh dharurat) seperti pokok-pokok keimanan, wajibnya shalat dan zakat, haramnya mengambil orang kafir sebagai pemimpin (muwalatul kafir). Ijtihad juga tidak diperbolehkan dalam hukum-hukum yang telah jelas pengertiannya (dalalah wadhihah) sehingga maknanya tidak samar lagi, seperti bilangan rakaat shalat, nishab zakat, had (sanksi) bagi pencuri dan pezina, dan lain-lain.[14]

Para ulama ushul telah menerangkan dengan rinci syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang mujtahid. Mereka menyatakan seorang mujtahid harus beragama Islam, adil (tidak fasik), mengetahui Al Quran dan As Sunnah, mengetahui hukum-hukum yang telah menjadi ijma’, menguasai ilmu-ilmu bahasa Arab serta makna lafazh-lafazhnya baik arti secara bahasa (lughawiyah), menurut kebiasaan (urfiyah),  maupun secara syar’i (syar’iyah), bentuk-bentuk qiyas, nasikh-mansukh, dan lain-lain.[15]

Dari uraian di atas tentang realitas pembuatan hukum (tasyri’) dan ijtihad dalam pandangan Islam, terbukti betapa kuatnya relevansi pembuatan hukum Islam dengan pemecahan segala problem kehidupan di sepanjang masa. Hal ini telah menyebabkan pembuatan hukum Islam mempunyai sifat yang permanen (langgeng) mengingat prosesnya mencakup kaidah-kaidah umum dan pokok-pokok tasyri’ yang baku bagi umat manusia dipandang dari segi ia manusia. Sebab kebutuhan dan naluri manusia sesungguhnya tidak berubah, tetap sama kapan pun dan di mana pun manusia berada. Apalagi Islam sendiri telah membuka pintu ijtihad guna menggali hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan fakta-fakta baru yang muncul dalam kehidupan manusia seiring dengan perkembangan dan perubahan situasi sosial, politik, dan lain-lain. Kaidah-kaidah, pokok-pokok (ushul), dan nash-nash syar’i dapat dielaborasi lewat mekanisme ijtihad guna menjawab berbagai permasalahan yang muncul tanpa henti.

Dengan demikian, Syari’ah Islam sungguh memiliki kekhasan dan keistimewaan yang tidak dimiliki sistem hukum lain. Kelanggengan syari’ah ini akan selalu terjamin dengan terlindunginya sumber-sumber asasinya berupa Al Qur’an dan As Sunnah sepanjang masa sejak diutusnya Rasulullah SAW tanpa ada perubahan atau penggantian sedikit pun. Sumber dalil-dalil syara’ terbatas berupa wahyu belaka. Jadi tidak diterima adanya tambahan atau pengurangan atas sumber-sumber hukum tersebut baik dengan tambahan ucapan para tokoh ataupun ijtihad para fuqaha’. Nash-nash dan kaidah-kaidah syara’ juga mencakup illat-illat syar’i yang mengandung banyak makna sehingga memungkinkan istinbath hukum bagi semua fakta yang padanya terdapat illat-illat syar’i ini, bagaimana pun juga barunya fakta yang terjadi dan bagaimanapun juga berbedanya keadaan dan situasi yang melingkupi fakta itu. Sungguh, kebenaran pokok-pokok Syari’ah Islam dan kebatilan sistem hukum selainnya telah terbukti dengan argumen-argumen rasional bagi para pengkaji dan orang-orang yang memiliki akal jernih.


[1] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, buku Pertama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm. 24.

[2] Eggi Sudjana dan Achyar Eldine, Ideologi dalam Perspektif Islam, (Bogor: ESAB Ghifari Yusuf, 2003), hlm. 55.

[3] Majalah Islam Risalah Mujahidin, Rubrik Diplomasi Dakwah, Edisi 3 Dzulqa’dah 1427 H./Desember 2007 M. Hlm. 43.

[4] Ibid. hlm. 44.

[5] Eggi Sudjana dan Achyar Eldine, Ideologi dalam…., op. cit., hlm. 39.

[6] Dr. Ali Jarisyah, I’lan Dustur Islami, (Al Manshurah : Dar Al Wafa’ li Ath Thiba’ah wa An Nasyr, 1985/1405), hlm. 16.

[7] Untuk mendapat penjelasan lebih lanjut tentang tasyri’ dan pemerintahan, lihat Sayyid Quthub, Fi Zhilal Al Qur’an, Juz III, (Beirut : Dar Asy Syuruq, 1980/1400), hlm. 1180-1185.

[8] Fakhr Ad Din Ar Razi, Al Mahshul fi Ilm Ushul Al Fiqh, Juz II, (Riyadh : Mathbu’ah Jami’ah Al Imam Muhammad Bin Su’ud Al Islamiyah, 1981/1401), hlm. 7 & 39.

[9] HR Al Bukhari, dikutip dari Ibn Al Atsir,  Jami’ Al Ushul min Ahadits Ar Rasul, Juz X, (Beirut : Dar Ihya’ At Turats Al Arabi, 1980/1400), hlm. 548.

[10] Ibid., hlm. 551.

[11] Badran Abu Al Aynayn Badran, Ushul Al Fiqh Al Islami, (Iskandariah : Muassasah Syabab Al Jami’ah, 1974), hlm. 274.

[12] Muhammad Al Khidir Husain, Rasail Al Ishlah, Juz II, (Ad Dimam :  Dar Al Ishlah, t.t.), hlm. 111.

[13] Abdul Wahhab Khallaf, As Siyasah Asy Syar’iyah, (Beirut : Muassasah Ar Risalah, 1984/ 1404), hlm. 45.

¨ Seruan menutup pintu ijtihad muncul pada akhir abad IV H karena kekhawatiran para ulama akan kelemahan tsaqafah Islam di tangan generasi sesudahnya. Bila ijtihad tetap dipaksakan, khazanah fiqh yang amat gemilang peninggalan imam terdahulu, ditakutkan akan amburadul tak tentu arah. Penutupan pintu ijtihad juga merupakan seruan preventif terhadap orang-orang yang tidak memiliki kemampuan berijtihad serta merupakan upaya mengurangi berbagai aliran dan madzhab yang menjamur. Pada abad VIII H muncul para ulama, seperti Ibnu Taymiyah yang menyerukan bahwa pintu ijtihad terbentang lebar bagi orang-orang yang mampu berijtihad. Lihat : Al Ijtihad fi Asy Syari’ah Al Islamiyah wa Buhuts Ukhra min Al Buhuts Al Muqaddamah li Al Mu’tamar Al Fiqh Al Islami, (Riyadh: Jamiah Al Imam Muhammad bin Su’ud Al Islamiyah, Idarah Ats Tsaqafah wa An Nasyr, 1984/1404), hlm. 193.

[14] Badran, op. cit., hlm. 475.

[15] Lihat Ar Razi, Al Mahshul, Juz II, hlm. 30-36.


Posted 26 Juni 2010 by Yayan Z. in Umum

Tinggalkan komentar